BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam kajian
filsafat Islam, ada beberapa tokoh
muslim yang sangat berjasa dalam pengembangan/pembaharuan pemikiran pendidikan
Islam, khususnya dari para filosof Muslim, seperti al-Farabi, Al-Ghazali, Ibn
Khaldun, Ikhwan al-Shafa, dan lain sebagainya.
Al Farabi mempunyai nama asli Abu Nashr Ibnu Audagh Ibn
Thorhan Al Farabi, Sebenarnya Al farabi diambil dari nama kota farab yaitu tempat dia dilahirkan. Untuk memulai karirnya
dalam pengetahuanya, Ia hijrah dari negerinya ke kota baghdad, Yang pada waktu
itu disebut sebagai kota Ilmu pengetahuan. Dia belajar selama kurang lebih 20
tahun, pemikiran al Farabipun datang dari banyak para ahli. Diataranya massignon,
Al farabi merupakan filosof Islam yang pertama.
Sedangkan Ikhwan
al-Shafa adalah salah satu organisasi yang didirikan oleh sekelompok masyarakat
yang terdiri dari para filosof. Sebagai perkumpulan atau organisasi yang
bersifat rahasia, Ikhwan al-Shafa menfokuskan perhatiannya pada bidang dakwah
dan pendidikan. Organisasi ini juga mengajarkan tentang dasar-dasar Islam yang
didasarkan oleh persaudaraan Islamiyah (ukhuwah Islamiyah), yaitu sikap
yang memandang iman seseorang muslim tidak akan sempurna kecuali ia mencintai
saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Hal ini berdasarkan sebuah hadis:
لاَ يُؤْمِنُ
اَحَدُكُمْ حَتَى يُحِبَّ أَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Oleh karena itu dalam
makalah ini, kami akan mengulas sedikit banyak tentang Geografi dan pemikiran
Al Farabi serta Ikhwan As Shafa.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
kehidupan, biografi dan pemikiran Al Farabi ?
2.
Bagaimana
kehidupan, biografi dan pemikiran Ikhwan As Shafa ?
C.
Tujuan
Pembahasan
- Untuk mengetahui kehidupan, biografi dan pemikiran Al Farabi ?
- Untuk mengetahui kehidupan biografi dan pemikiran Ikhwan As Shafa ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
AL FARABI
1.
Biografi
Al
Farabi nama lengkapnya adalah
Abu Nashr Muhammad bin Turkhan bin al-Uzalagh al-Farabi. Ayahnya adalah seorang
jenderal berkebangsaan Turki[1] yang lahir pada tahun 258 H/870 M dan wafat pada
tahun 339 H/950 M. Sejak dasa warsa terakhir abad ke-13 H/19 M, telah dilakukan
banyak usaha untuk menulis biografinya, mengumpulkan karya-karya yang belum
diterbitkan, dan menjelaskan berbagai hal yang masih samar di dalam
karyanya.
Kehidupan al-Farabi
dapat dibagi menjadi dua periode, yang pertama bermula sejak lahir, masa
kanak-kanaknya, masa remajanya sampai ia berusia lima puluh tahun. Telah
diyakini bahwa ia lahir sebagai orang Turki, pendidikan dasarnya ialah
keagamaan dan bahasa. Ia mempelajari fiqh, hadits dan tafsir al-Qur’an serta ia
juga mempelajari bahasa Arab, bahasa Turki, dan Parsi. Ia tidak mengabaikan
manfaat yang dapat diperoleh dari studi-studi rasional yang berlangsung pada
masa hidupnya, seperti matematika dan filsafat meskipun tampaknya ia tidak
berpaling kepada keduanya sampai kemudian ia tertarik dengan studi
rasional, ia tidak puas dengan apa yang telah diperolehnya di kota
kelahirannya. Terdorong oleh keinginan intelektualnya itu, maka ia meninggalkan
tanah kelahirannya dan mengembara menuntut ilmu pengetahuan.
Periode kedua kehidupan
al-Farabi adalah periode usia tua dan penuh kematangan. Baghdad, sebagai pusat
belajar yang terkemuka pada abad ke-4 H/10 M, merupakan tempat pertama yang
dikunjunginya, di sana ia berjumpa dengan sarjana dari berbagai bidang, di
antaranya para filosof dan penerjemah. Ia tertarik untuk mempelajari logika dan
untuk beberapa lama ia belajar logika kepada Ibn Yunus. Al-Farabi mukim selama
dua puluh tahun di Baghdad dan kemudian tertarik oleh pusat kebudayaan lain di
Aleppo. Di sana tempatnya orang-orang brilian, para sarjana, para penyair, ahli
bahasa, filosof, dan sarjana-sarjana kenamaan lainnya. Al-Farabi tinggal di
kota tersebut, dan merupakan orang pertama dan terkemuka sebagai sarjana dan
pencari kebenaran. Ia menulis buku-buku dan artikel-artikel dalam suasana
gemercik air sungai dan di bawah dedaunan pepohonan yang rindang. Al-Farabi
mukim di Syria hingga wafat pada tahun 339 H/950 M. Ibn Usaibi’ah menyebutkan
bahwa al-Farabi mengunjungi Mesir menjelang akhir hayatnya. Hal ini sangat
mungkin, karena Mesir dan Syria mempunyai hubungan yang erat di sepanjang
rentangan sejarah yang cukup panjang dan kehidupan kebudayaan Mesir pada masa
Thuluniyyah dan Ikhshyidiyyah memang mempunyai pesona. Al-Farabi mencapai
posisi yang sangat terpuji di Istana Saif al-Daulah, sampai-sampai sang raja
bersama para pengikut dekatnya mengantarkan jenazahnya ke pemakamannya sebagai
penghormatan atas kematian seorang sarjana terkemuka.
2.
Pemikiran al Farabi
a.
Metafisika
Dalam Masalah ketuhanan Al-Farabi menggunakan
pemikiran Aristoteles dan neo-Platonisme, yakni Al-Maujud Al-Awwal sebagai
sebab pertama bagi segala yang ada. Dalam Pembuktian adanya Tuhan Al-Farabi
mengemukakan dalil Wajib Al-Wujud dan Mumkin Al-Wujud, menurutnya segala yang
ada ini dua kemungkinan dan tidak ada alternatis yang ketiga.
Wajib Al-Wujud
adalah wujudnya tidak boleh tidak ada, adanya dengan sendirinya, esensi dan
wujudnya adalah sama dan satu. Ia adalah wujud yang sempurna selamanya dan
tidak didahului oleh tiada, Jika wujud ini tidak ada, maka akan timbul
kemustahilan, karena wujud lain untuk adanya tergantung kepadanya. Inilah yang
di sebut dengan Tuhan.
Mumkin Al-Wujud
maksudnya adalah Tidak akan berubah menjadi wujud aktual tanpa adanya wujut
yang menguatkan, dan yang menguatkan itu bukan dirinya tetapi wajib Al-Wujud. Walau
pun demikian, mustahil terjadi daur dan tasalsul (Prosessus in infinutum),
karena rentetan sebab akibat itu akan berakhir pada Wajib Al-Wujud.
Al-Farabi mengklasifikasikan yang wujud kepada dua rentetan yaitu :
Al-Farabi mengklasifikasikan yang wujud kepada dua rentetan yaitu :
1.
Rentetan wujud yang esensinya tidak berfisik. termasuk
dalam hal ini Varitas yang tidak berfisik dan tidak menempati fisik (Allah,
akal pertama, dan uqaul al-akhlak), serta yang tidak berfisi tetapi bertempat
pada fisik (Jiwa, bentuk, dan materi).
2.
Rentetan wujud yang berfisik yaitu benda benda lagit,
manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, benda-benda tambang, dan unsur-unsur yang empat
(air, udara, tanah, dan api).
Tujuan Al-Farabi mengemukakan teori emanasi tersebut
untuk menegaskan ke maha Esaan Tuhan. Karena tidak mungkin yang Esa berhubungan
dengan yang tidak Esa atau banyak. Andai kata alam di ciptakan secara langsung,
mengakibatkan Tuhan berhubungan dengan yang tidak sempurna, dan ini menudai ke
Esaannya. Jadi dari Tuhan yang maha Esa hanya muncul satu yakni akal pertama
yang berfungsi sebagai perantara dengan yang banyak. Disamping itu Tuhan juga
bagi Al-Farabi tidak mempuyai kehendak, karena hal itu membawa
ketidaksempurnaan, termasuk melimpahnya yang banyak dari dirinya secara sekali
gus dan itu tidak terjadi dalam waktu. dari pendapat ini Al-Farabi hanya
menyatakan alam adalah taqoddum zamani bukan taqoddum dzati.
b.
Jiwa
Al-Farabi dalam masalah Jiwa di pengaruhi oleh
Filsafat Plato dan arestoteles dan platinus. Jiwa bersifat rohani, bukan
materi, terwujud setelah adanya badan dan jiwa tidak berpindah-pindah dari
suatu badan ke badan yang lain.
Jiwa-jiwa
manusia mempunyai daya-daya , sebagai berikut :
1.
Daya gerak
seperti makan, memelihara dan berkembang;
2.
Daya mengetahui
yaitu: Merasa, Imaginasi ; dan
3.
Daya berfikir yakni: Akal praktis dan teoritis. Daya
teoritis terbagi kepada tiga tingkatan yaitu sebagai berikut:
·
Akal Potensial
baru mempunyai potensi berpikir dalam arti; melepaskan arti-arti atau
bentuk-bentuk dari materinya.
·
Akal Aktual,
telah dapat melepaskan arti-arti dari materinya, dan arti-arti itu telah
mempuyai wujud akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensi, tetapi
dalam bentuk aktual.
·
Akal Mustafad;
telah dapat menangkap bentuk semata-mata yang tidak di kaitkan dengan materi
dan mempunyai kesanggupan mengadakan komunikasi dengan akal.
c.
Politik
Pemikiran Al-Farabi
lainnya yang amat penting adalah tentang politik yang ia tuangkan dalam dua
karyanya, Al-Syiyasah Al-Madaniyyah (pemerintahan politik) dan Arra’al Madinah
Al-Fadilah (pendapat negara utama) banyak di pengaruhi oleh konsep plato yang
menyamakan konsep negara dengan tubuh manusia ada kepala, tangan, kaki, dan
anggota tubuh lainnya yang masing-masing mempunyai fungsi tertentu. Yang
paling penting dari tubuh manusia adalah kepala, karena dari kepalalah segala
perbuatan manusia di kendalikan. Sedangkan untuk mengendalikan kerja otak di
lakukan oleh hati. Demikian juga dalam negara. Menurut Al-Farabi yang amat
penting dalam negara adalah pimpinannya atau penguasanya bersama-sama bawahannya
sebagai mana halnya jantung dengan organ-organ tubuh yang lebih rendah secara
berturut-turut. Penguasa ini harus yang paling unggul baik dalam bidang
intelektual maupun moralnya diantara yang ada. Disamping daya fripentik yang di
karuniakan tuhan kepadanya, ia harus mempunyai kwalitas-kwalitas yang berupa :
·
Kecerdasan;
·
Ingatan yang baik;
·
Pikiran yang tajam;
·
Cinta kepada pengetahuan;
·
Sikap moderat dalam hal makanan, minuman, dan seks;
·
Cinta kepada kejujuran;
·
Kemurahan hati;
·
Kesederhanaan;
·
Cinta kepada keadilan;
·
Ketegaran dan keberanian serta kesehatan jasmani; dan
·
Kefasihan berbicara.
d.
Moral
Al-Farabi
menekankan empat jenis sifat utama yang harus menjadi perhatian untuk mencapai
kebahagiaan di dunia dan akhirat bagi bangsa-bangsa dan setiap warga negara
yakni :
1.
Keutamaam tioritis yaitu prinsip-prinsip pengetahuan yang
di peroleh sejak awal tanpa di ketahui cara dan asalnya, juga yang di peroleh
dengan kontemplasi, penelitian, dan melalui belajar dan mengajar;
2.
Keutamaan pemikiran adalah yang memungkinkan orang
mengetahui hal-hal yang bermanfaat dalam tujuan. termasuk dalam hal ini
kemampuan membuat aturan-aturan karena itu di sebut keutamaan jenis ini dengan
keutamaan pemikiran budaya. (Fadhail ‘il Fikriyyah Madaniyyah);
3.
Keutamaan akhlak bertujuan mencari kebaikan, jenis
keutamaan ini berada di bawah dan menjadi syarat keutamaan pemikiran kedua
jenis keutamaan tersebut terjadi dengan tabiatnya dan bisa juga terjadi dengan
kehendak sebagai penyempurna tabiat atau watak manusia; dan
4.
Keutamaan
amaliyah di peroleh dengan dua cara yaitu pernyataan-pernyataan yang memuaskan
dan merangsang. cara lain adalah pemaksaan. Selain di atas Al-Farabi
menyarankan agar bertindak tidak berlebihan yang dapat merusak jiwa dan fisik
atau mengambil posisi tengah-tengah.
e.
Teori kenabian
Teori kenabian yang diajukan Al-Farabi di motivisir
oleh pemikiran filosofis pada masanya yang mengingkari eksistensi kenabian.
Menurut Al-Farabi manusia dapat berhubungan dengan Aql Fa’al melalui dua cara
yakni penalaran atau renungan pemikiran dan imaginasi (al mutakhayyilah) yang
sangat kuat atau intuisi (Ilham).
Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh pribadi pribadi pilihan yang dapat menembus alam materi untuk dapat mencapai cahaya keTuhanan sedangkan cara kedua hanya dapat di lakukan oleh nabi. Perbedaan kedua cara tersebut hanya pada tingkatannya, dan tidak mengenai esensinya.
Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh pribadi pribadi pilihan yang dapat menembus alam materi untuk dapat mencapai cahaya keTuhanan sedangkan cara kedua hanya dapat di lakukan oleh nabi. Perbedaan kedua cara tersebut hanya pada tingkatannya, dan tidak mengenai esensinya.
Ciri khas seorang
nabi bagi Al-Farabi adalah mempunyai daya imaginasi yang kuat di mana obyek
indrawi dari luar tidak dapat mempengaruhinya ketika ia berhubungan dengan aql
fa’al (Kesepuluh malaikat) ia dapat menerima visi dan kebenaran dalam bentuk
wahyu.
Dari beberapa
uraian di atas maka dengan sepantasnya bila Al-Farabi di kenal sebagai filsuf
Islam yang terbesar, memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuwan dan
memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya dengan
sempurna.
B.
IKHWAN AS SAFA
1.
Biografi
Ikhwan As Safa
Dalam Wikipedia
disebutkan, Ikhwan as-Shafa (اخوان الصفا)
berarti (Persaudaraan Kemurnian) adalah organisasi
rahasia yang aneh dan misterius yang terdiri dari para filsuf Arab Muslim, yang berpusat di Basrah, Irak yang saat itu
merupakan ibukota Kekhalifahan Abassiyah-di sekitar abad ke-10
Masehi.
Kelompok yang lahir di Bashrah kira-kira tahun 373H/983M ini,[2]
terkenal dengan Risalahnya, yang memuat doktrin-doktrin spiritual dan sistem
filsafat mereka. Nama lengkap kelompok ini adalah Ikhwan al-Shafa wa Khullan
al-Wafa wa Ahl al-Hamd wa Abna’ al-Majd. Sebuah nama yang diusulkan untuk
mereka sandang sebagaimana termaktub dalam bab ”Merpati Berkalung” dan Kalilah
wa Dimnah, sebuah buku yang sangat mereka hormati. Ikhwan al-Shafa berhasil merahasiakan nama mereka secara
seksama. Namun Abu Hayyan al-Tauhidi menyebutkan, sekitar tahun 373H/983M lima
orang dari kelompok Ikhwan al-Shafa seperti, Abu Sulaiman Muhammad bin Ma’syar
al-Busti, yang dikenal dengan al-Muqaddisi, Abu al-Hasan Ali bin Harun
al-Zanjani, Abu Ahmad Muhammad al-Mihrajani, al-Aufi, dan Zaid bin Rifa’ah yang
terkenal itu.[3]
Karya monumental
Ikhwan al-Shafa adalah ensiklopedia Rasail Ikhwan al-Shafa. Rasail
Ikhwan Ash-Shofa wa Khilan al-Wafa didirikan pada abad ke 4 H yang dikarang
oleh 10 orang yang mengaku dirinya sebagai pakar tapi mereka merahasiakan
identitasnya.[4] Rasail
ini terdiri 51 risalah (Epistle) yang dilengkapi dengan ikhtisar di
bagian akhirnya. Diduga kuat, ikhtisar ini digarap oleh Al-Majriti (w.1008).
Konon, Al-Majriti pula yang pertama-tama membawa ajaran Ikhwan al-Shafa di
daratan Spanyol. Ensiklopedi ini secara garis besar, dapat dibagi menjadi empat
kelompok:
Kelompok pertama, berisi empat belas risalah ”matematis” tentang angka.
Oleh kalangan Ikhwan al-Shafa, angka dianggap alat penting untuk mengkaji
filsafat ”sebab ilmu angka akar semua sains, saripati kebijaksanaan, sumber
kognisi, dan unsur pembentuk makna. Risalah dalam kelompok ini memuat bagian
(1) pendahuluan, disusul dengan (2) geometri, (3) astronomi, (4) musik, (5)
geografi, (6) ”proporsi-proporsi harmonik”, (7 dan 8) tentang seni-seni
teoritis dan praktis, dan (9) etika.
Kelompok kedua, terdiri atas tujuh belas risalah yang membahas ”persoalan
fisik-materiil”. Secara kasar, semua risalah tersebut berkaitan dengan
karya-karya fisika Aristoteles. Sedikit tambahan ihwal psikologi, epistemologi,
dan linguistik yang tidak terdapat dalam korpus Aristotelian, juga masuk dalam
kelompok ini.
Kelompok ketiga, terdiri atas sepuluh risalah ”psikologis-rasional” yang
membahas prinsip-prinsip intelektual, intelek itu sendiri, hal-hal kawruhan (intelligibles),
hakikat cinta erotik (’isyq), hari kebangkitan, dan sebagainya.
Kelompok keempat, terdiri atas empat belas risalah yang membahas cara
mengenal Tuhan, akidah dan pandangan hidup Ikhwan al-Shafa, sifat hukum Ilahi,
kenabian, tindakan-tindakan makhluk halus, jin dan malaikat, rezim politik, dan
terakhir hakikat teluh, azimat, dan aji-aji.[5]
Dari isi
ensiklopedi tersebut kita dapat menafsirkan bahwa Ikhwan al-Shafa mencoba
melakukan penjelasan-penjelasan yang terkait dengan agama dan ilmu pengetahuan
(filsafat dan sains). Sedangkan karya yang erat hubungannya dengan Rasail
adalah al-Risalat al-Jami’ah (Risalah Komprehensif) yang merupakan
sebuah summarium (Ikhtisar, Ringkasan) dan summa dari karya
aslinya. Selanjutnya, Jami’ah pun diikhtisarkan dalam Risalat
al-Jami’ah al-Jami’ah au al-Zubdah min Rasail Ikhwan al-Shafa (Kondensasi
dari Risalah Komprehensip atau Krim dari Rasail Ikhwan al-Shafa), yang
juga dinamai al-Risalat al-Jami’ah. [6]
2.
Pemikiran Ikhwan As Sofa
Ikhwan al-Shafa
membagi cabang pengetahuan menjadi tiga kelas utama, yaitu: matematika, fisika,
dan metafisika. Dalam Rasa’il matematika meliputi: teori tentang
bilangan, geometri, astronomi, geografi, musik, seni teoritis dan praktis,
etika, dan logika. Fisika meliputi: materi, bentuk, gerak, waktu, ruang,
langit, generasi, kehancuran, mineral, esensi alam, tumbuhan, hewan, tubuh
manusia, indera, kehidupan dan kematian, mikrikosmos, suka, duka, dan bahasa.
Metafisika dibagi menjadi psiko-rasionalisme dan teologi. Psiko-rasionalisme.
Subdivisi pertama (psiko-rasionalisme) meliputi fisika, rasionalistika, wujud,
mikrokosmos, jiwa, tahun-tahun raya, cinta, kebangkitan kembali dan kausalitas.
Teologi meliputi keyakinan atau akidah Ikhwan al-Shafa, persahabatan, keimanan,
hukum Allah, kenabian, dakwah, ruhani, tatanegara, struktur alam, dan magis.
a. Konsep Pendidikan
Ikhwan al-Shafa
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh
dengan tiga cara, yaitu:
1) Dengan pancaindera.
Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan tentang perubahan-perubahan yang
mudah ditangkap oleh indera, dan yang kita ketahui hanyalah perubahan-perubahan
ruang dan waktu.
2) Dengan akal prima
atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu oleh indera.
3) Melalui inisiasi.
Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwan al-Shafa. Dengan cara
ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara langsung dari guru, yakni
guru dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Guru mendapatkan
ilmunya dari Imam (pemimpin agama) dan Imam dari Imam lain, dan para Imam
mendapatnya dari Nabi, dan Nabi dari Allah, sumber ilmu paling akhir. Konsep
Imam ini disinyalir bahwa Ikhwan al-Shafa mengabdopsi konsep imam dalam
pemahaman Syi’ah, yang lebih menekankan pada sikap eksklusif dalam memilih imam
dari kelompoknya sendiri.
Dalam hal anak didik, Ikhwan al-Shafa memandang bahwa
perumpamaan orang yang belum dididik ilmu akidah ibarat kertas yang masih putih
bersih, belum ternoda apapun juga. Apabila kertas ini ditulis sesuatu, maka
kertas tersebut telah memiliki bekas yang tidak mudah dihilangkan.[7]
Pandangan ini lebih dekat dengan teori Tabula Rasa John Locke (empirisme).
Aliran ini menilai bahwa awal pengetahuan terjadi karena pancaindera
berinteraksi dengan alam nyata. Sebelum berinteraksi dengan alam nyata itu di
dalam akal tidak terdapat pengetahuan apapun.
Ikhwan al-Shafa berpendapat bahwa ketika lahir, jiwa manusia tidak memiliki
pengetahuan sedikitpun. Proses memperoleh pengetahuan digambarkan Ikhwan secara
dramatis dilakukan melalui pelimpahan (al-faidh). Proses pelimpahan
tersebut bermula dari jiwa universal (al-nafs al-kulliyah) kepada jiwa
manusia, setelah terlebih dahulu melalui proses emanasi. Pada mulanya, jiwa
manusia kosong. Setelah indera berfungsi, secara berproses manusia mulai
menerima rangsangan dari alam sekitarnya. Semua rangsangan inderawi ini
melimpah ke dalam jiwa. Proses ini pertama kali memasuki daya pikir (al-quwwah
al-mufakkirat), kemudian diolah untuk selanjutnya disimpan ke dalam
re-koleksi atau daya simpan (al-quwwah al-hafizhat) sehingga akhirnya
sampai pada daya penuturan (al-quwwah al-nathiqat) untuk kemudian siap
direproduksi.[8]
Pandangan Ikhwan di atas berbeda dengan konsep fitrah
dalam pendidikan Islam, bahwa manusia sejak lahir telah membawa potensi dasar
(kemampuan dasar untuk beragama) yang diberikan Allah. Jadi, sejak lahir
manusia sudah punya modal ”fitrah” tidak layaknya kertas putih (kosong). Modal
itulah yang nantinya akan dikembangkan oleh orang tua, masyarakat, sekolah
maupun lingkungan cyber universe yang diciptakan oleh kemajuan teknologi
informasi (internet).
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa semua ilmu harus
diusahakan (muktasabah), bukan pemberian tanpa usaha. Ilmu yang demikian
didapat dengan panca indera. Ikhwan al-Shafa menolak pendapat yang mengatakan
bahwa pengetahuan adalah markuzah (harta tersembunyi) sebagaimana
pendapat Plato yang beraliran idealisme. Plato memandang bahwa manusia memiliki
potensi, dengan potensi ini ia belajar, yang dengannya apa yang terdapat dalam
akal itu keluar menjadi pengetahuan. Plato mengatakan bahwa jiwa manusia hidup
bersama alam ide (Tuhan) yang dapat mengetahui segala sesuatu yang ada. Ketika
jiwa itu menyatu dengan jasad, maka jiwa itu terpenjara, dan tertutuplah
pengetahuan, dan ia tidak mengetahui segala sesuatu ketika ia berada di alam
ide, sebelum bertemu dengan jasad. Karena itu untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan seseorang harus berhubungan dengan alam ide.[9]
Dalam mempelajari ilmu pengetahuan, Ikhwan al-Shafa
mencoba meng-integrasikan antara ilmu agama dan umum. Mereka mengatakan bahwa
kebutuhan jiwa manusia terhadap ilmu pengetahuan tidak memiliki keterbatasan
pada ilmu agama (naqliyah) semata. Manusia juga memerlukan ilmu umum (aqliyah).
Dalam hal ini, ilmu agama tidak bisa berdiri sendiri melainkan perlu bekerja
sama dengan ilmu-ilmu aqliyah, terutama ilmu-ilmu kealaman dan filsafat.
Dalam hal ini Ikhwan al-Shafa mengklasifikasikan ilmu pengetahuan aqliyah
kepada 3 (tiga) kategori, yaitu; matematika, fisika, dan metafisika. Ketiga
klasifikasi tersebut berada pada kedudukan yang sama, yaitu sama-sama bertujuan
menghantarkan peserta didik mencapai kebahagian dunia dan akhirat. Menurut
Ikhwan al-Shafa, ketiga jenis pengetahuan tersebut dapat diperoleh melalui
pancaindera, akal, dan inisiasi. Meskipun ia lebih menekankan pada kekuatan
akal dalam proses pencarian ilmu, akan tetapi menurutnya pancaindera dan akal
memiliki keterbatasan dan tidak mungkin sampai pada esensi Tuhan. Oleh karena
ini diperlukan pendekatan inisiasi, yaitu bimbingan atau otoritas ajaran agama.
b.
Pandangan Ikhwan al-Shafa Tentang Agama
Ikhwan
al-Shafa adalah Muslim. Namun mereka memiliki interpretasi tersendiri mengenai
agama pada umumnya dan tentang Islam pada khususnya. Corak Syi’ah yang amat
tampak dalam kegiatan misioner memang dramatis sebab ini sangat membantu mereka
menyentuh emosi massa. Secara
historis, sebetulnya Ikhwan al-Shafa tidak termasuk ke dalam sekte manapun.
Sebetulnya mereka hanya berupaya dengan dibantu Islam dan filsafat Yunani,
untuk menanamkan doktrin spiritual yang dapat menggantikan agama-agama historis
dan yang, pada waktu yang sama, dapat diterima oleh semua orang serta tidak
menyinggung perasaan siapa pun.
Ikhwan
al-Shafa memandang agama sebagai sebuah din, yaitu kebiasaan atau
kepatuhan kepada seorang pemimpin yang telah diakui. Agama sangat diperlukan
sebagai sanksi sosial dalam mengatur massa, dalam mensucikan jiwa, dan
dikarenakan semua manusia sebelum lahirnya pun sudah bertabiat untuk beragama
dan berbuat kebajikan. Dalam pengertian ini agama adalah satu untuk semua orang
dan segala bangsa.
Hukum
(Arab: Syari’ah atau namus, dari kata Yunani: nomos, hukum)
oleh Ikhwan al-Shafa adalah apa yang kita maksud dengan agama sekarang (dalam
istilah kita agama sama dengan hukum dalam istilah Ikhwan). Hukum-hukum itu
beraneka ragam disesuaikan dengan beragamnya komunitas, kelompok, dan
individu). Hukum ini diajarkan oleh orang-orang bijak yang ada di setiap bangsa
demi kemaslahatan bangsa-bangsa yang bersangkutan. Atas dasar ini, Ikhwan
al-Shafa menyatakan bahwa segala tema metafisika di dalam kitab-kitab suci
misalnya mengenai penciptaan, mengenai Adam, Setan, pohon pengetahuan,
kebangkitan kembali, Hari Perhitungan, neraka, dan surga harus dianggap sebagai
simbol-simbol dan harus dipahami secara alegoris. Hanya orang-orang awam, yang
tidak dapat berpikir mandiri secara memadai, yang memahami tema-tema ini secara
harfiah. Tema-tema yang agak ringan, seperti Dia (Allah) menurunkan hujan
dari langit (al-Hajj [22]: 63), juga harus dipahami secara simbolik:
air dalam konteks ini adalah Al-Qur’an.
Penafsiran
Ikhwan al-Shafa terhadap teks Al-Qur’an tersebut lebih bersifat esotoris
(secara batin), dalam artian pemaknaan Al-Qur’an dengan simbol-simbol. Karena
sifat penafsiran Ikhwan al-Shafa yang esotoris ini, mereka dianggap sebagai
kelompok aliran kebatinan.
Rasail adalah upaya pembentukan sistem agama baru yang
menggeser posisi syariat Islam yang telah menjadi "barang antik".
Usaha ini gagal dan menuai banyak kritikan dari ulama-ulama umat yang
menjelaskan kesesatan dan kekeliruan mazhab ini. Secara implisit, Rasail
mengandung keyakinan-keyakinan filosofis para kaum Bathiniyyah, para
filosof, dan kaum Nasionalis, diantaranya:
a. Pengingkaran
kebangkitan manusia dengan jasad-jasadnya di akhirat.
b. Perbedaan interpretasi surga dan neraka dari pendapat
umum yang mutawatir.
c. Bantahan
implikasi setan seperti yang dipahami umat Islam, menurut mereka setan itu
konotasi makhluk-makhluk jahat yang menerawang di orbit bulan dan
kawan-kawannya berupa makhluk-makhluk yang tidak diketahui bentuknya di
kehidupan dunia.
d. Interpretasi
makna kafir dan azab secara maknawi.
e. Keyakinan bahwa derajat kenabian bisa dicapai dengan
latihan dan kesucian hati.
f. Statemen
berbunyi siapa yang telah mencapai alam batin maka berarti dia sudah terbebas
dari praktek ibadah/syariat.
g. Kecondongan pada
keyakinan Syi'ah seperti kemaksuman Imam, taqiyah (berbohong demi kebenaran),
mendirikan negara dari ahli bait (keturunan Nabi).
h. Seruan terhadap
pluralisme agama serta pelarangan fanatisme terhadap agama tertentu. Pendapat
seperti ini banyak diilhami dari utopia peninggalan-peninggalan para dukun dan
orang-orang Yunani. Sekelompok analisis dan orientalis lain lebih condong
berpendapat bahwa Rasail ini diadopsi dari Ismailiyyah Bathiniyyah.
Dari pendapat-pendapat di atas, semakin nampak bahwa
penafsiran agama yang dilakukan oleh Ikhwan lebih menekankan pada makna
esotoris/batiniyah daripada lahiriyah. Bagi mereka, hanya orang-orang awwam
yang tidak bisa berpikir mandiri. Penafsiran esotoris ini lebih banyak
dipengaruhi oleh paham Syiah.
c.
Pandangan Ikhwan al-Shafa tentang Filsafat
Bagi golongan
Ikhwan al-Shafa, filsafat itu bertingkat-tingkat. Pertama-tama cinta kepada
ilmu; kemudian mengetahui hakikat wujud-wujud menurut kesanggupan manusia, dan
yang terakhir ialah berkata dan berbuat sesuai dengan ilmu. Mengenai lapangan
filsafat, maka dikatakannya ada empat, yaitu matematika, logika, fisika, dan
ilmu ketuhanan. Ilmu ketuhanan mempunyai bagian-bagian, yaitu:
a.
mengetahui Tuhan;
b.
ilmu kerohanian, yaitu malaikat-malaikat Tuhan;
c.
ilmu kejiwaan, yaitu mengetahui roh-roh dan jiwa-jiwa,
yang ada pada benda-benda langit dan benda-benda alam;
d.
ilmu politik yang meliputi politik kenabian, politik
pemerintahan, politik umum (politik kekotaan), politik khusus (politik rumah
tangga), politik pribadi (akhlak);
e.
ilmu keakhiratan, yaitu mengetahui hakikat kehidupan di
hari kemudian.
Filsafat,
kebijaksanaan atau kebijakan filosofis, menurut Ikhwan, adalah berperilaku
seperti Tuhan (Godlike) sedapat mungkin. Definisi filsafat secara lebih
terincinya, ”cinta kepada ilmu pengetahuan disamping pengetahuan mengenai
esensi segala wujud, yang diperoleh sedapat mungkin, ditambah dengan keyakinan
dan berperilaku yang selaras dengan keyakinan itu.
Dalam
memandang antara filsafat dan agama, Ikhwan al-Shafa yakin bahwa tak ada
pertentangan serius antara filsafat dan agama. Sebab, sama-sama bertujuan ”meniru Tuhan sesuai dengan
kemampuan manusia”. Peniruan ini, menurut Ikhwan al-Shafa, bisa dicapai lewat
pengetahuan teoritis atau amal kebajikan yang menyucikan individu bersangkutan.
Perbedaan antara filsafat dan agama berada hanya pada tataran yang subsider,
yakni bersangkutan bahasa khusus yang dipakai oleh keduannya.
Bagi
Ikhwan al-Shafa, nilai utama filsafat terletak pada upayanya mengungkapkan
pengertian tersembunyi (batin) dari wahyu. Filsafat juga mengajarkan
agar manusia tidak berhenti pada makna eksternal (zhahir) wahyu secara
vulgar dan profligate. Bahkan, filsafat mengajarkan bahwa ”hakikat
kekufuran (kufr), kekeliruan, kebodohan, dan kebutaan” ialah bersikap
puas terhadap tafsiran-tafsiran eksternal yang bertumpu pada kesenagan-kesenangan
ragawi dan imbalan-imbalan kasatmata. Bagi seorang bijak bestari, semua
tafsiran itu justru mengisyaratkan kebenaran-kebenaran spiritual. Dengan
demikian, neraka adalah alam fana yang terletak di bawah bulan,
sedangkan surga adalah ”tempat menetapnya jiwa dan alam raya”.
BAB
III
KESIMPULAN
A. Al Farabi nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad bin
Turkhan bin al-Uzalagh al-Farabi. Ayahnya adalah seorang jenderal berkebangsaan
Turki yang lahir pada tahun 258 H/870 M
dan wafat pada tahun 339 H/950 M.
Pemikiran Al Farabi menyangkut beberapa hal yaitu;
1.
Metafisika
2.
Jiwa
3.
Politik
4.
Moral
5.
Teori kenabian
B.
Dalam Wikipedia disebutkan, Ikhwan as-Shafa (اخوان
الصفا) berarti (Persaudaraan Kemurnian) adalah organisasi
rahasia yang aneh dan misterius yang terdiri dari para filsuf Arab Muslim, yang berpusat di Basrah,
Pemikiran Ikhwan as-Shafa meliputi beberapa hal yaitu
1.
Konsep pendidikan Ikhwan as-Safa
2.
Pandangan Ikhwan as-Safa tentang agama
3.
Pandangan Ikhwan as-Safa tentang filsafat
DAFTAR
PUSTAKA
Mustofa A.
1999. Filsafat Islam. Bandung. Pustaka Setia.
Murtianingsih
Wahyu. 2008. Biografi Para Ilmuan Muslim. Yogyakarta. Insan Madani.
Zar Sirajudin.
2009. Filsafat Islam (filosof dan filsafatnya). Jakarta. Rajawali Pers.
http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Farabi
(diakses pada hari sabtu tanggal 3 desember jam 20.34 WIB)
http://kajad-alhikmahkajen.blogspot.com/2010/06/konsep-pemikiran-al-farabi-tentang-ilmu.html
(diakses
pada hari sabtu tanggal 3 desember jam 20.50 WIB)
http://id.shvoong.com/humanities/1919708-ikwan-as-shafa/
(diakses
pada hari sabtu tanggal 3 desember jam 21.10 WIB)
[3]
Omar A. Farrukh dalam M.M. Syarif (editor), Aliran-Aliran Filsafat Islam,
hal. 181
[5]
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, (terj.)
oleh Zaimul Am, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 64.
[6]
Omar A. Farrukh dalam M.M. Syarif (editor), Aliran-Aliran Filsafat Islam,
hal. 182
[7] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, hal. 182
[8] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan
Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 98- 99
[9] Op cit, Abuddin Nata, hal. 182-183
Tidak ada komentar:
Posting Komentar